2.1 Pengertian
Pengertian
Problematika Menurut Para Ahli
Istilah problema/problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu
"problematic" yang artinya persoalan atau masalah.Sedangkan dalam
bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan; yang
menimbulkan permasalahan.Sedangkan yang lain menyatakan bahwa "problema/problematika merupakan suatu
kesenjangan antara harapan dan kenyataan.Jadi dapat disimpulkan bahwa
problematika adalah berbagai persoalan yang belum dapat terselesaikan, hingga
terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi dalam proses
pemberdayaan, baik yang datang dari individu Guru maupun dalam upaya
pemberdayaan masyarakat Islami secara langsung dalam masyarakat.
Pengertian
Problematika Pendidikan Islam problematika + pendidikan islam. Berarti problematika pendidikan islam
adalah masalah-masalah yang terjadi dalam pendidikan islam.
2.2 Problematika Pendidikan Islam Masa Kini
Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem
pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama, Pendidikan
Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara
Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran
diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan
pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan
Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam
sistem pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari
problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika
tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1.
Faktor
Internal
a.
Relasi
Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam. Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya
satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia
atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan
tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan.
Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan,
lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional,
barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur
kehilangan orientasi mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam
masyarakat indonesia. Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan
semata mendatangkan efek positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan
tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan
disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan
pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam
sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social movement (gerakan
sosial) menjadi hilang.
b.
Masalah
Kurikulum. Sistem sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang
sifatnya otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh
keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul.
Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output
pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem
manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan
manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa
kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga
seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas
pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran. Dalam
realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami
perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap
dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1)
perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari
ajaran-ajaran agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh
dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam
untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara
berfikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis,
empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan
nilai-nilai islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran
keagamaan islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya
sehingga menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan
kurikulum pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam
memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang
luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan
tujuan Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.
c.
Pendekatan/Metode
Pembelajaran. Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas
kompetensi siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan
potensi guru, memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa
melalui pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang
menggunakan teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan
menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap
bersaing dalam arus perkembangan zaman. Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia
yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup
beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa/mahasiswa harus
kritis membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi
ideal tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini masih banyak metode yang
konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada
tantangan untuk berfikir.
d.
Profesionalitas
dan Kualitas SDM. Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di
Indonesia sejak masa Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik
yang masih belum memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga
kependidikan lainnya agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan
profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga
kependidikan masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga
mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang
benar-benar kualitatif.
e.
Biaya
Pendidikan. Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan
tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab
atas persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub
dalam UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana
minimal 20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang
belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap
20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis
pendidikan. Tapi dalam kenyataanya anggaran tersebut tidak sepenuhnya sampai
kepada rakyat dan masih banyak yang belum mendapatkan pendidikan karena
minimnya biaya.
2.
Faktor
Eksternal
a.
Dichotomic.
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam
beberapa aspek yaitu ada kerenggangan antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum,
antara Wahyu dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem
dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama.
b.
Lack of
Spirit of Inquiry. Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan
dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan
penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The
Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap
rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi
salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
c.
Memorisasi.
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar
akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan
bahwa, karena waktu yang diperlukan untuk belajar terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat
menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang
aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang.
Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripada pemahaman pelajaran yang
bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan
(memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya.
d.
Certificate
Oriented. Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab
al’ilm, telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih
mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan
kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan
sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama
muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge
oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak
lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga,
ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa.
Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam
mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge
oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya
merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja,
sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.
2.3 Solusi Problematika Pendidikan Islam Di Era Global
Pendidikan islam harus dirancang sedemikian rupa yang
memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara
alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung
jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami
masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun
penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu
alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan
global.
Berbagai macam tantangan tersebut menuntut para
penglola lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam untuk
melakukan nazhar atau perenungan dan penelitian kembali apa
yang harus diperbuat dalam mengantisipasi tantangan tersebut, model-model
pendidikan Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang
sekiranya mampu mencegah dan atau mengatasi tantangan tersebut. Melakukan nazhar
dapat berarti at-taammul wa al’fahsh, yakni melakukan
perenungan atau menguji dan memeriksanya secara cermat dan mendalam, dan taqlib
al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni
melakukan perubahan pandangan (cara pandang) dan cara penalaran (kerangka
pikir) untuk menangkap dan melihat sesuatu, termasuk di dalamnya adalah
berpikir dan berpandangan alternatif serta mengkaji ide-ide dan rencana kerja
yang telah dibuat dari berbagai perspektif guna mengantisipasi masa depan yang
lebih baik.
Pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya
dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus
dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun
nonformal. Serta pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan
para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif
dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Serta Pemisahan
antar ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya
penyatuan keduanya dalam satu sistem pendidikan integralistik solusi teknis,
yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan
pendidikan.Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru.Maka,
solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis
untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
2.4 Orientasi Pendidikan Islam Di Era Global
Menurut Ahmad Tantowi, dengan adanya era globalisasi
ini perlu adanya rumusan orientasi pendidikan Islam yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Orientasi tersebut ialah sebagai
berikut :
1.
Pendidikan
Islam sebagai Proses Penyadaran. Pendidikan Islam harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat.
Sehingga dengan kesadaran kritis ini akan mampu menganalisis hubungan
faktor-faktor sosial dan kemudian mencarikan jalan keluarnya. Hubungan antara
kesadaran tersebut dengan pendidikan Islam dan globalisasi ialah agar umat
Islam bisa melihat secara kritis bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi
bukanlah sesuatu yang given atau takdir yang sudah digariskan
oleh Tuhan, akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur
globalisasi itu sendiri.
2.
Pendidikan
Islam sebagai Proses Humanisasi. Proses Humanisasi dalam pendidikan Islam
dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup yang
tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang ada padanya.
Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya) dan diberdayakan (ptoensi
rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
3.
Pendidikan Islam sebagai Pembinaan Akhlak
al-Karimah. Akhlak merupakan domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di era
globalisasi ini. Tidak adanya akhlak dalam tata kehidupan masyarakat akan
menyebabkan hancurnya masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di
negeri ini. Menurut Abuddin Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa
sebagian kecil elit politik (penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada
masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar. Bagi pendidikan Islam, masalah
pembinaan akhlak sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sebab akhlak memang
merupakan misi utama agama Islam. Hanya saja, akibat penetrasi budaya sekuler barat, belakangan ini masalah
pembinaan akhlak dalam institusi pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu,
pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq
al-karimah, dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting
lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal,
informal, maupun nonformal. Pembinaan akhlak sebagai (salah satu)
orientasi pendidikan Islam di era globalisasi ini adalah sesuatu yang tidak
bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa sangat ditentukan oleh
akhlak masyarakatnya
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Hasmiyati Gani, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching
Ciputat Press Group, 2008
Daulay,
Haidar Putra, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Jakarta :
Rineka Cipta, 2009
Muhaimin,
Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar