Selasa, 07 Juni 2016

BERKURANGNYA IMAN ISLAM



BAB II
PEMBAHASAN
2.1. BERKURANGNYA IMAN ISLAM

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وزاد في رواية: وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Artinya :
Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi Saw. Bersabda : Tidak akan berzina seorang pelacur di waktu berzina jika ia sedang beriman, dan tidak akan minum khamr, di waktu minum jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri, di waktu mencuri jika ia sedang beriman. Di lain riwayat : Dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya, ketika merampas jika ia sedang beriman. (Bukhari,Muslim).
Hadits ini termasuk hadits yang diikhtilafkan maknanya oleh para ulama. Adapun pendapat yang shahih tentang makna hadits di atas adalah bahwa tidak ada seorangpun yang melakukan perbuatan maksiat di atas sedang ia berada dalam keimanan yang sempurna. Dengan kata lain, orang yang melakukan perbuatan maksiat di atas maka dia termasuk yang tidak mempunyai iman kepada Allah.
Secara lafdiyah hadits ini menunjukkan makna bahwa yang melakukan perbuatan maksiat di atas termasuk orang yang tidak beriman, tetapi yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bukan hilangnya iman tetapi hilangnya kesempurnaan iman seseorang karena melakukan perbuatan maksiat di atas, hal ini didasarkan kepada hadits Abi Dzar di bawah ini,
مَنْ قَالَ لَا إِلَه إِلَّا اللَّه دَخَلَ الْجَنَّة وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ
Artinya :
 Barang siapa mengucapkan laa ilaaha illallah maka akan masuk sorga, walaupun berzina, walaupun mencuri.
Serta didasarkan kepada hadits Ubadah bin Shamit yang shahih dan masyhur berikut ini :
أَنَّهُمْ بَايَعُوهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْ لَا يَسْرِقُوا وَلَا يَزْنُوا ، وَلَا يَعْصُوا إِلَى آخِره . ثُمَّ قَالَ لَهُمْ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّه ، وَمَنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَته ، وَمَنْ فَعَلَ وَلَمْ يُعَاقَب فَهُوَ إِلَى اللَّه تَعَالَى إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

Artinya :
Mereka berbaiat kepada Rasulullah SAW. bahwa mereka tidak akan mencuri, tidak akan zina, tidak akan berbuat maksiat dan seterusnya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa diantara kalian memenuhi janji ini, maka pahalanya diserahkan kepada Allah dan barang siapa melakukan perbuatan tadi, kemudian disiksa di dunia maka siksaan itu kifarat baginya, dan barang siapa melakukan perbuatan tadi dan tidak disiksa maka keputusannya diserahkan kepada Allah, jika Allah menghendaki maka akan mengampuninya, dan jika Allah menghendaki maka Allah akan menyiksanya.

Firman Allah dalam Al Quran surat An Nisa ayat 48 :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An Nisa : 48).

Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan dosa besar selain syirik tidak kafir, tetapi mereka adalah mu’min yang tidak sempurna imannya berbeda dengan Khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar.
Adapun pendapat ulama yang lain, maksud dari hadits ini adalah bahwa orang yang melakukan perbuatan maksiat tadi dan menghalalkan maksiat tersebut serta dia mengetahui bahwa perbuatan itu haram, maka orang tersebut telah hilang imannya atau menjadi kafir.
Menurut Ja’far bin Jarir, makna hadits ini adalah bahwa orang yang melakukan maksiat tersebut maka dia tidak layak disebut sebagai mu’min, tetapi ia lebih layak dicela sebagai pencuri, pezina, fasik dan lain-lain.
Terlepas dari perbedaan ulama dalam memaknai hadits di atas, inti dari hadits di atas adalah larangan bagi orang mu’min untuk melakukan maksiat zina, minum khamr dan mencuri karena perbuatan itu akan mengurangi kesempurnaan keimanan seseorang.
Dengan demikian iman seseorang akan berkurang kesempurnaannya jika dia melakukan maksiat, dan akan bertambah kesempurnaannya jika melakukan ibadah.
Adapun tentang bertambah dan berkurangnya keimanan para ulama beda pendapat :

1. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Asfahani dan Kitab At Tahrir fi Syarhi Shahih Muslim mengatakan : Iman secara bahasa adalah tashdiq (membenarkan). Jika yang dimaksud iman adalah tashdiq maka dia tidak bertambah dan tidak berkurang, karena tashdiq itu tidak terdiri dari banyak bagian yang terkadang sempurna pada suatu waktu dan berkurang pada waktu yang lain, dan jika tashdiq berkurang maka berubah menjadi ragu-ragu.
 Adapun Iman menurut Syara’ adalah membenarkan dalam hati dan diamalkan dengan perbuatan. Berdasarkan pengertian ini maka iman bisa bertambah dan berkurang, dan ini adalah madzhab Ahli Sunnah.
 Para ulama beda pendapat dalam masalah bagaimana jika seseorang membenarkan dalam hati tapi tidak disertai dengan perbuatan iman, apakah dia bisa disebut sebagai mu’min atau tidak ? dan menurut pendapat mushannif orang tersebut tidak bisa disebut sebagai orang mu’min berdasarkan hadits di atas.

2. Menurut Imam Abu Hasan Ali bin Khalaf dalam kitab Syarah Shahih Bukhari, madzhab Jamaah Ahli Sunnah adalah ‘bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan yang bisa bertambah dan berkurang’.
Pendapat ini didasarkan kepada ayat-ayat Al Quran yang disampaikan oleh Imam Bukhari. Firman Allah SWT yang artinya:

Dan tak kala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (QS. Al Ahzab : 47).

"Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. Al Fath : 4)
Dengan demikian jika seorang mu’min bertambah amal baiknya maka tambahlah kesempurnaan imannya, dan jika berkurang amal baiknya maka berkuranglah kesempurnaan imannya.

3. Menurut pendapat ketiga ini iman itu merupakan pembenaran dalam hati, diikrarkan oleh lisan dan diamalkan dengan perbuata
n. Jika salah satunya tidak ada maka dia belum bisa disebut mu’min.
Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT yang artinya:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

4. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
(QS. Al Anfal : 2-3)

Setelah kita mengetahui iman itu bertambah dan berkurang, maka mengenal sebab-sebab bertambah dan berkurangnya iman memiliki manfaat dan menjadi sangat penting sekali. Sudah sepantasnya seorang muslim mengenal kemudian menerapkan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, agar bertambah sempurna dan kuat imannya. Juga untuk menjauhkan diri dari lawannya yang menjadi sebab berkurangnya iman sehingga dapat menjaga diri dan selamat didunia dan akherat.
Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa seorang hamba yang mendapatkan taufiq dari Allah Ta’ala selalu berusaha melakukan dua perkara:
1.    Merealisasikan iman dan cabang-cabangnya serta menerapkannya baik secara ilmu dan amal secara bersama-sama.
2.    Berusaha menolak semua yang menentang dan menghapus iman atau menguranginya dari fitnah-fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, mengobati kekurangan dari awal dan mengobati yang seterusnya dengan taubat nasuha serta mengetahui satu perkara sebelum hilang.
Mewujudkan iman dan mengokohkannya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab bertambahnya iman dan melaksanakannya. Sedangkan berusaha menolak semua yang menghapus dan menentangnya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab berkurangnya iman dan berhati-hati dari terjerumus di dalamnya.



2.1.1. Sebab-sebab Bertambahnya Iman
Pertama:
Belajar ilmu yang bermanfaat yang bersumber dari al-Qur`aan dan as Sunnah. Hal ini menjadi sebab pertambahan iman yang terpenting dan bermanfaat karena ilmu menjadi sarana beribadah kepada Allah Ta’ala dan mewujudkan tauhid dengan benar dan pas. Pertambahan iman yang didapatkan dari ilmu bisa terjadi dari beraneka ragam sisi, di antaranya:
1.        Sisi keluarnya ahli ilmu dalam mencari ilmu
2.        Duduknya mereka dalam halaqah ilmu
3.        Mudzakarah (diskusi) di antara mereka dalam masalah ilmu
4.        Penambahan pengetahuan terhadap Allah dan syari’at-Nya
5.        Penerapan ilmu yang telah mereka pelajari
6.        Tambahan pahala dari orang yang belajar dari mereka
Kedua:
 Merenungi ayat-ayat kauniyah. Merenungi dan meneliti keadaan dan keberadaan makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang beraneka ragam dan menakjubkan merupakan faktor pendorong yang sangat kuat untuk beriman dan mengokohkan iman.
Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Di antara sebab dan faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada alam semesta berupa penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhuk penghuninya dan meneliti diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini semua adalah faktor pendorong yang kuat untuk meningkatkan iman”.
Ketiga:
Berusaha sungguh-sungguh melaksanakan amalan shalih dengan ikhlas, memperbanyak dan mensinambungkannya. Hal ini karena semua amalan syariat yang dilaksanakan dengan ikhlas akan menambah iman. Karena iman bertambah dengan pertambahan amalan ketaatan dan banyaknya ibadah.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah menuturkan, “Di antara sebab pertambahan iman adalah melakukan ketaatan. Sebab iman akan bertambah sesuai dengan bagusnya pelaksanaan, jenis dan banyaknya amalan. Semakin baik amalan, semakin besar penambahan iman dan bagusnya pelasanaan ada dengan sebab ikhlas dan mutaba’ah (mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan jenis amalan, maka yang wajib lebih utama dari yang sunnah dan sebagian amal ketaatan lebih ditekankan dan utama dari yang lainnya. Semakin utama ketaatan tersebut maka semakin besar juga penambahan imannya. Adapun banyak (kwantitas) amalan, maka akan menambah keimanan, sebab amalan termasuk bagian iman. Sehingga pasti iman bertambah dengan bertambahnya amalan.
2.1.2. Sebab-sebab Berkurangnya Iman
Sebab-sebab berkurangnya iman ada yang berasal dari dalam diri manusia, sendiri (faktor internal) dan ada yang berasal dari luar (faktor eksternal).
Faktor internal berkurangnya iman
Pertama:
Kebodohan Ini adalah sebab terbesar berkurangnya iman, sebagaimana ilmu adalah sebab terbesar bertambahnya iman.
Kedua:
Kelalaian, sikap berpaling dari kebenaran dan lupa. Tiga perkara ini adalah salah satu sebab penting berkurangnya iman.
Ketiga:
Perbuatan maksiat dan dosa.Jelas kemaksiatan dan dosa sangat merugikan dan memiliki pengaruh jelek terhadap iman.Sebagaimana pelaksanaan perintah Allah Ta’ala menambah iman, demikian juga pelanggaran atas larangan Allah Ta’ala mengurangi iman. Namun tentunya dosa dan kemaksiatan bertingkat-tingkat derajat, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya, sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ungkapan beliau, “Sudah pasti kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shalih pun bertingkat-tingkat”.
Keempat:
Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammaratu bissu’). Inilah nafsu yang ada pada manusia dan tercela. Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan, sebagaimana Allah Ta’ala jelaskan dalam menceritakan istri al-Aziz ,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Qs Yusuf: 53)
Nafsu ini menyeret manusia kepada kemaksiatan dan kehancuran iman, sehingga wajib bagi kita berlindung kepada Allah Ta’ala darinya dan berusaha bermuhasabah sebelum beramal dan setelahnya.
Faktor eksternal berkurangnya iman
Pertama:
Syeitan musuh abadi manusia yang merupakan satu sebab penting eksternal yang mempengaruhi iman dan mengurangi kekokohannya.
Kedua:
Dunia dan fitnah, menyibukkan diri dengan dunia dan perhiasannya termasuk sebab yang dapat mengurangi iman.Sebab semakin semangat manusia memiliki dunia dan semakin menginginkannya, maka semakin memberatkan dirinya berbuat ketaatan dan mencari kebahagian akherat, sebagaiman dituturkan Imam Ibnul Qayyim.
Ketiga:
Teman bergaul yang jelek Teman yang jelek dan jahat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya terhadap keimanan, akhlak dan agamanya. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari hal ini dalam sabda beliau:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seorang itu berada di atas agama kekasihnya (teman dekatnya), maka hendaknya salah seorang kalian melihat siapa yang menjadi kekasihnya.
Demikianlah perkara yang harus diperhatikan dalam iman, mudah-mudahan hal ini dapat menggerakkan kita untuk lebih mengokohkan iman  dan menyempurnakannya.

2.2. Rasa Malu Sebagian Dari Iman

حَدَّثَنَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يعظ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Berkata Abdullah bin Umar r.a. : Rasulullah SAW lewat kepada seorang laki-laki yang sedang menasihati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah SAW berkata :Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. (HR. Bukhari Muslim)
Hadits ini menjelaskan tentang salah satu cabang iman yaitu malu. Sebagaimana dijelaskan oleh hadits bahwa iman itu memiliki 67 cabang, dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ  )  رواه البخاري ومسلم( 
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda : Iman itu enam puluh lebih cabangnya, dan malu itu sebagian dari iman.
(HR. Bukhari Muslim)
Malu menurut bahasa adalah keadaan takut dicela.Terkadang malu diartikan dengan tidak melakukan sesuatu karena ada suatu sebab.
Adapun malu dalam istilah syara’ adalah akhlak yang mendorong manusia untuk meninggalkan perbuatan buruk dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Malu merupakan sebuah watak, bisa juga merupakan akhlak.Malu yang merupakan akhlak memerlukan upaya, ilmu dan niat, karenanya merupakan bagian dari iman serta bisa mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah dari maksiat.Malu juga ada yang mendorong orang untuk melakukan maksiat, seperti malu terhadap penguasa sehingga menimbulkan enggan untuk amar ma’rufnahI munkar kepada pemerintah tersebut. Malu yang ini bukan malu yang sebenarnya, tetapi malu tipe ini merupakan kelemahan kerendahan dan kehinaan.
Mujahid berkata :
لَا الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ
Orang yang pemalu tidak akan bisa mempelajari sebuah ilmu, begitu juga orang yang takabbur.
يَتَعَلَّمُ
Siti Aisyah berkata :
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
            “Wanita yang paling baik adalah wanita Anshar.”
            Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk berusaha memahami agama.Kedua malu yang dimaksud oleh Mujahid dan Siti Aisyah bukan malu yang dimaksud oleh Hadits di atas, karena malu yang sebenarnya adalah malu yang bisa mencegah orang dari melakukan maksiat, maka seolah-olah keimanannya yang mencegah orang tersebut dari perbuatan maksiat.
BAB III
KESIMPULAN


قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وزاد في رواية: وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Artinya :
Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi Saw. Bersabda : Tidak akan berzina seorang pelacur di waktu berzina jika ia sedang beriman, dan tidak akan minum khamr, di waktu minum jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri, di waktu mencuri jika ia sedang beriman. Di lain riwayat : Dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya, ketika merampas jika ia sedang beriman. (Bukhari,Muslim).
حَدَّثَنَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يعظ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Artinya :
Berkata Abdullah bin Umar r.a. : Rasulullah SAW lewat kepada seorang laki-laki yang sedang menasihati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah SAW berkata :Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. (HR. Bukhari Muslim)





DAFTAR PUSTAKA

At-taudhih wa al-Bayaan Lisyajarat al-Imaan hlm 38
Ibid hlm 31
Fathu rabbi al-Bariyah hlm 65
Ighaatsatu al-Lahafaan 2/142
HR at-Tirmidzi 4/589 dan dinilai hasan oleh iman al-Albani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar