BAB II
PEMBAHASAN
2.1. BERKURANGNYA IMAN ISLAM
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وزاد في رواية: وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Artinya :
Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi Saw. Bersabda : Tidak akan berzina
seorang pelacur di waktu berzina jika ia sedang beriman, dan tidak akan minum
khamr, di waktu minum jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri, di waktu
mencuri jika ia sedang beriman. Di lain riwayat : Dan tidak akan merampas
rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya,
ketika merampas jika ia sedang beriman. (Bukhari,Muslim).
Hadits ini
termasuk hadits yang diikhtilafkan maknanya oleh para ulama. Adapun pendapat
yang shahih tentang makna hadits di atas adalah bahwa tidak ada seorangpun yang
melakukan perbuatan maksiat di atas sedang ia berada dalam keimanan yang
sempurna. Dengan kata lain, orang yang melakukan perbuatan maksiat di atas maka
dia termasuk yang tidak mempunyai iman kepada Allah.
Secara lafdiyah hadits ini menunjukkan makna bahwa yang
melakukan perbuatan maksiat di atas termasuk orang yang tidak beriman, tetapi
yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bukan hilangnya iman tetapi hilangnya
kesempurnaan iman seseorang karena melakukan perbuatan maksiat di atas, hal ini
didasarkan kepada hadits Abi Dzar di bawah ini,
مَنْ قَالَ لَا إِلَه إِلَّا اللَّه دَخَلَ الْجَنَّة وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ
Artinya :
Barang siapa mengucapkan laa
ilaaha illallah maka akan masuk sorga, walaupun berzina, walaupun mencuri.
Serta didasarkan kepada hadits Ubadah bin Shamit yang shahih dan masyhur berikut ini :
Serta didasarkan kepada hadits Ubadah bin Shamit yang shahih dan masyhur berikut ini :
أَنَّهُمْ بَايَعُوهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْ لَا يَسْرِقُوا وَلَا يَزْنُوا ، وَلَا يَعْصُوا إِلَى آخِره . ثُمَّ قَالَ لَهُمْ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّه ، وَمَنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَته ، وَمَنْ فَعَلَ وَلَمْ يُعَاقَب فَهُوَ إِلَى اللَّه تَعَالَى إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Artinya :
Mereka berbaiat kepada Rasulullah SAW. bahwa mereka tidak akan
mencuri, tidak akan zina, tidak akan berbuat maksiat dan seterusnya. Kemudian
Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa diantara kalian memenuhi janji ini, maka
pahalanya diserahkan kepada Allah dan barang siapa melakukan perbuatan tadi,
kemudian disiksa di dunia maka siksaan itu kifarat baginya, dan barang siapa
melakukan perbuatan tadi dan tidak disiksa maka keputusannya diserahkan kepada
Allah, jika Allah menghendaki maka akan mengampuninya, dan jika Allah
menghendaki maka Allah akan menyiksanya.
Firman Allah
dalam Al Quran surat An Nisa ayat 48 :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS.
An Nisa : 48).”
Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan
dosa besar selain syirik tidak kafir, tetapi mereka adalah mu’min yang tidak
sempurna imannya berbeda dengan Khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan
dosa besar.
Adapun pendapat ulama yang lain, maksud dari
hadits ini adalah bahwa orang yang melakukan perbuatan maksiat tadi dan
menghalalkan maksiat tersebut serta dia mengetahui bahwa perbuatan itu haram,
maka orang tersebut telah hilang imannya atau menjadi kafir.
Menurut Ja’far bin Jarir, makna hadits ini
adalah bahwa orang yang melakukan maksiat tersebut maka dia tidak layak disebut
sebagai mu’min, tetapi ia lebih layak dicela sebagai pencuri, pezina, fasik dan
lain-lain.
Terlepas dari perbedaan ulama dalam memaknai hadits di atas, inti dari hadits di atas adalah larangan bagi orang mu’min untuk melakukan maksiat zina, minum khamr dan mencuri karena perbuatan itu akan mengurangi kesempurnaan keimanan seseorang. Dengan demikian iman seseorang akan berkurang kesempurnaannya jika dia melakukan maksiat, dan akan bertambah kesempurnaannya jika melakukan ibadah.
Terlepas dari perbedaan ulama dalam memaknai hadits di atas, inti dari hadits di atas adalah larangan bagi orang mu’min untuk melakukan maksiat zina, minum khamr dan mencuri karena perbuatan itu akan mengurangi kesempurnaan keimanan seseorang. Dengan demikian iman seseorang akan berkurang kesempurnaannya jika dia melakukan maksiat, dan akan bertambah kesempurnaannya jika melakukan ibadah.
Adapun tentang bertambah dan berkurangnya keimanan para ulama beda
pendapat :
1. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Asfahani dan Kitab At Tahrir fi Syarhi Shahih Muslim mengatakan : Iman secara bahasa adalah tashdiq (membenarkan). Jika yang dimaksud iman adalah tashdiq maka dia tidak bertambah dan tidak berkurang, karena tashdiq itu tidak terdiri dari banyak bagian yang terkadang sempurna pada suatu waktu dan berkurang pada waktu yang lain, dan jika tashdiq berkurang maka berubah menjadi ragu-ragu.
Adapun Iman menurut Syara’
adalah membenarkan dalam hati dan diamalkan dengan perbuatan. Berdasarkan
pengertian ini maka iman bisa bertambah dan berkurang, dan ini adalah madzhab
Ahli Sunnah.
Para ulama beda pendapat
dalam masalah bagaimana jika seseorang membenarkan dalam hati tapi tidak
disertai dengan perbuatan iman, apakah dia bisa disebut sebagai mu’min atau
tidak ? dan menurut pendapat mushannif orang tersebut tidak bisa disebut
sebagai orang mu’min berdasarkan hadits di atas.
2. Menurut Imam Abu Hasan Ali bin Khalaf dalam kitab Syarah Shahih Bukhari, madzhab Jamaah Ahli Sunnah adalah ‘bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan yang bisa bertambah dan berkurang’. Pendapat ini didasarkan kepada ayat-ayat Al Quran yang disampaikan oleh Imam Bukhari. Firman Allah SWT yang artinya:
Dan tak kala orang-orang mukmin melihat
golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : "Inilah yang
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". dan benarlah Allah dan
Rasul-Nya. dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman
dan ketundukan. (QS. Al Ahzab : 47).
"Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan
ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping
keimanan mereka (yang telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan
bumi dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. Al Fath : 4)
Dengan demikian jika seorang mu’min bertambah amal baiknya maka
tambahlah kesempurnaan imannya, dan jika berkurang amal baiknya maka
berkuranglah kesempurnaan imannya.
3. Menurut pendapat ketiga ini iman itu merupakan pembenaran dalam hati, diikrarkan oleh lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Jika salah satunya tidak ada maka dia belum bisa disebut mu’min.
Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah
mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal.
4. (yaitu)
orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki
yang Kami berikan kepada mereka.
(QS. Al Anfal : 2-3)
Setelah kita mengetahui iman
itu bertambah dan berkurang, maka mengenal sebab-sebab bertambah dan
berkurangnya iman memiliki manfaat dan menjadi sangat penting sekali. Sudah
sepantasnya seorang muslim mengenal kemudian menerapkan dan mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari, agar bertambah sempurna dan kuat imannya. Juga
untuk menjauhkan diri dari lawannya yang menjadi sebab berkurangnya iman
sehingga dapat menjaga diri dan selamat didunia dan akherat.
Syeikh Abdurrahman
as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa seorang hamba yang mendapatkan
taufiq dari Allah Ta’ala selalu berusaha melakukan dua perkara:
1.
Merealisasikan iman dan cabang-cabangnya serta
menerapkannya baik secara ilmu dan amal secara bersama-sama.
2.
Berusaha menolak semua yang menentang dan
menghapus iman atau menguranginya dari fitnah-fitnah yang nampak maupun yang
tersembunyi, mengobati kekurangan dari awal dan mengobati yang seterusnya
dengan taubat nasuha serta mengetahui satu perkara sebelum hilang.
Mewujudkan iman dan mengokohkannya dilakukan
dengan mengenal sebab-sebab bertambahnya iman dan melaksanakannya. Sedangkan
berusaha menolak semua yang menghapus dan menentangnya dilakukan dengan
mengenal sebab-sebab berkurangnya iman dan berhati-hati dari terjerumus di
dalamnya.
2.1.1. Sebab-sebab
Bertambahnya Iman
Pertama:
Belajar ilmu yang bermanfaat yang bersumber
dari al-Qur`aan dan as Sunnah. Hal ini menjadi sebab pertambahan iman yang
terpenting dan bermanfaat karena ilmu menjadi sarana beribadah kepada Allah Ta’ala
dan mewujudkan tauhid dengan benar dan pas. Pertambahan iman yang didapatkan
dari ilmu bisa terjadi dari beraneka ragam sisi, di antaranya:
1.
Sisi keluarnya ahli ilmu dalam mencari ilmu
2.
Duduknya mereka dalam halaqah ilmu
3.
Mudzakarah (diskusi) di antara mereka dalam
masalah ilmu
4.
Penambahan pengetahuan terhadap Allah dan
syari’at-Nya
5.
Penerapan ilmu yang telah mereka pelajari
6.
Tambahan pahala dari orang yang belajar dari
mereka
Kedua:
Merenungi ayat-ayat kauniyah. Merenungi dan
meneliti keadaan dan keberadaan makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang
beraneka ragam dan menakjubkan merupakan faktor pendorong yang sangat kuat
untuk beriman dan mengokohkan iman.
Syeikh Abdurrahman
as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Di antara sebab dan faktor pendorong
keimanan adalah tafakur kepada alam semesta berupa penciptaan langit dan
bumi serta makhluk-makhuk penghuninya dan meneliti diri manusia itu sendiri
beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini semua adalah faktor pendorong yang kuat
untuk meningkatkan iman”.
Ketiga:
Berusaha sungguh-sungguh melaksanakan amalan
shalih dengan ikhlas, memperbanyak dan mensinambungkannya. Hal ini karena semua
amalan syariat yang dilaksanakan dengan ikhlas akan menambah iman. Karena iman
bertambah dengan pertambahan amalan ketaatan dan banyaknya ibadah.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
pernah menuturkan, “Di antara sebab pertambahan iman adalah melakukan
ketaatan. Sebab iman akan bertambah sesuai dengan bagusnya pelaksanaan,
jenis dan banyaknya amalan. Semakin
baik amalan, semakin besar penambahan iman dan bagusnya
pelasanaan ada dengan sebab ikhlas dan mutaba’ah (mencontohi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam). Sedangkan jenis
amalan, maka yang wajib lebih utama dari yang sunnah dan sebagian amal
ketaatan lebih ditekankan dan utama dari yang lainnya. Semakin utama ketaatan
tersebut maka semakin besar juga penambahan imannya. Adapun banyak (kwantitas) amalan, maka akan menambah keimanan,
sebab amalan termasuk bagian iman. Sehingga pasti iman bertambah dengan
bertambahnya amalan.”
2.1.2. Sebab-sebab
Berkurangnya Iman
Sebab-sebab berkurangnya iman ada yang berasal
dari dalam diri manusia, sendiri (faktor
internal) dan ada yang berasal dari luar (faktor eksternal).
Faktor
internal berkurangnya iman
Pertama:
Kebodohan Ini adalah sebab
terbesar berkurangnya iman, sebagaimana ilmu adalah sebab terbesar bertambahnya
iman.
Kedua:
Kelalaian, sikap berpaling dari kebenaran dan
lupa. Tiga perkara ini adalah salah satu sebab penting berkurangnya iman.
Ketiga:
Perbuatan maksiat dan
dosa.Jelas kemaksiatan dan dosa sangat merugikan dan memiliki pengaruh jelek
terhadap iman.Sebagaimana pelaksanaan perintah Allah Ta’ala menambah
iman, demikian juga pelanggaran atas larangan Allah Ta’ala mengurangi
iman. Namun tentunya dosa dan kemaksiatan bertingkat-tingkat derajat, kerusakan
dan kerugian yang ditimbulkannya, sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah
dalam ungkapan beliau, “Sudah pasti kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan
bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shalih pun bertingkat-tingkat”.
Keempat:
Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu
ammaratu bissu’). Inilah nafsu yang ada pada manusia dan tercela. Nafsu ini
mengajak kepada keburukan dan kebinasaan, sebagaimana Allah Ta’ala
jelaskan dalam menceritakan istri al-Aziz ,
وَمَا
أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ
رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh
kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Qs Yusuf: 53)
Nafsu ini menyeret manusia
kepada kemaksiatan dan kehancuran iman, sehingga wajib bagi kita berlindung
kepada Allah Ta’ala darinya dan berusaha bermuhasabah sebelum beramal
dan setelahnya.
Faktor
eksternal berkurangnya iman
Pertama:
Syeitan musuh abadi manusia yang merupakan satu
sebab penting eksternal yang mempengaruhi iman dan mengurangi kekokohannya.
Kedua:
Dunia dan fitnah, menyibukkan
diri dengan dunia dan perhiasannya termasuk sebab yang dapat mengurangi iman.Sebab
semakin semangat manusia memiliki dunia dan semakin menginginkannya, maka
semakin memberatkan dirinya berbuat ketaatan dan mencari kebahagian akherat,
sebagaiman dituturkan Imam Ibnul Qayyim.
Ketiga:
Teman bergaul yang jelek Teman yang
jelek dan jahat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya terhadap keimanan, akhlak
dan agamanya. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memperingatkan kita dari hal ini dalam sabda beliau:
الرَّجُلُ
عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seorang itu berada di atas agama kekasihnya
(teman dekatnya), maka hendaknya salah seorang kalian melihat siapa yang
menjadi kekasihnya.
Demikianlah perkara yang harus diperhatikan
dalam iman, mudah-mudahan hal ini dapat menggerakkan kita untuk lebih
mengokohkan iman dan menyempurnakannya.
2.2. Rasa Malu Sebagian Dari Iman
حَدَّثَنَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يعظ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Berkata Abdullah bin Umar r.a. : Rasulullah
SAW lewat kepada seorang laki-laki yang sedang menasihati saudaranya karena
malu. Maka Rasulullah SAW berkata :Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya
malu itu sebagian dari iman. (HR. Bukhari
Muslim)
Hadits ini menjelaskan tentang salah satu cabang iman yaitu malu.
Sebagaimana dijelaskan oleh hadits bahwa iman itu memiliki 67 cabang, dan rasa
malu merupakan salah satu cabang iman.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ ) رواه البخاري ومسلم(
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda : Iman itu
enam puluh lebih cabangnya, dan malu itu sebagian dari iman.
(HR. Bukhari Muslim)
Malu menurut bahasa adalah keadaan takut
dicela.Terkadang malu diartikan dengan tidak melakukan sesuatu karena ada suatu
sebab.
Adapun malu dalam istilah syara’ adalah akhlak yang mendorong
manusia untuk
meninggalkan perbuatan buruk dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Malu merupakan sebuah watak, bisa juga
merupakan akhlak.Malu yang merupakan akhlak memerlukan upaya, ilmu dan niat, karenanya
merupakan bagian dari iman serta bisa mendorong manusia untuk melakukan
perbuatan baik dan mencegah dari maksiat.Malu juga ada yang mendorong orang
untuk melakukan maksiat, seperti malu terhadap penguasa sehingga menimbulkan
enggan untuk amar ma’rufnahI munkar kepada pemerintah tersebut. Malu yang ini bukan malu yang sebenarnya, tetapi malu tipe ini
merupakan kelemahan kerendahan dan kehinaan.
Mujahid
berkata :
لَا الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ
“Orang
yang pemalu tidak akan bisa mempelajari sebuah ilmu, begitu juga orang yang
takabbur.”
يَتَعَلَّمُ
Siti Aisyah berkata :
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Wanita yang paling baik
adalah wanita Anshar.”
Rasa malu tidak
menghalangi mereka untuk berusaha memahami agama.Kedua malu yang dimaksud oleh
Mujahid dan Siti Aisyah bukan malu yang dimaksud oleh Hadits di atas, karena
malu yang sebenarnya adalah malu yang bisa mencegah orang dari melakukan
maksiat, maka seolah-olah keimanannya yang mencegah orang tersebut dari
perbuatan maksiat.
BAB III
KESIMPULAN
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وزاد في رواية: وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Artinya :
Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi Saw. Bersabda : Tidak akan berzina
seorang pelacur di waktu berzina jika ia sedang beriman, dan tidak akan minum
khamr, di waktu minum jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri, di waktu
mencuri jika ia sedang beriman. Di lain riwayat : Dan tidak akan merampas
rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya,
ketika merampas jika ia sedang beriman. (Bukhari,Muslim).
حَدَّثَنَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يعظ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Artinya :
Berkata Abdullah bin Umar r.a. : Rasulullah
SAW lewat kepada seorang laki-laki yang sedang menasihati saudaranya karena
malu. Maka Rasulullah SAW berkata :Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya
malu itu sebagian dari iman. (HR. Bukhari
Muslim)
DAFTAR PUSTAKA
At-taudhih wa al-Bayaan Lisyajarat al-Imaan hlm
38
Ibid hlm 31
Fathu rabbi al-Bariyah hlm 65
Ighaatsatu al-Lahafaan 2/142
HR at-Tirmidzi 4/589 dan dinilai hasan oleh
iman al-Albani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar