Selasa, 07 Juni 2016

DEFINISI NASAKH




PEMBAHASAN
AN-NASKH ( الفقه أصول )

DEFINISINYA :
Naskh secara bahasa : Penghilangan ( الإزالة ) dan Pemindahan ( النقل )
Kata (اَلْناَسِخُ) berasal dari kata kerja “nasakh(نَسَخَ) artinya, menghapus, dalam ilmu Nahwu (اَلْناَسِخُ) kedudukannya adalah sebagai isim fa’il (pelaku), yang menghapus, yang menghilangkan, yang mencatat atau berubah. Sedangkan Al-Mansukh (اَلْمَنْسُوْخُ) dalam ilmu Nahwu kedudukanya adalah sebagai isim maf’ul (penderita atau tujuan), artinya adalah yang dihapus, yang dihilangkan, yang dicatat atau yang dirubah.
Maksudnya adalah bila ada satu ketentuan, peraturan, atau peraturan yang menghapus ketentuan yang terdahulu itu disebut “mansukh (اَلْمَنْسُوْخُ) artinya yang dihapus. Sedang yang datang kemudian, disebut “Al-Nasikh(اَلْناَسِخُ) artinya yang menghapus, peristiwa penghapusan disebut Nasakh atau  “Al-Naskhu (اَلْنَسْخُ) menurut istilah ushul fiqih adalah :
Secara istilah :
رَفْعُ حُكْمِ شَرْعِيٍّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ مُتَاَخِرٍ
 “Mengangkat suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian”
والسنة الكتاب من بدليل لفظه أو شرعي دليل حكم رفع
"Terangkatnya (dihapusnya, pent) hukum suatu dalil syar'i atau lafadznya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah."
Yang dimaksud dengan perkataan kami : ( رفع حكم ) " Terangkatnya hukum" yakni : perubahannya dari wajib menjadi mubah atau dari mubah menjadi haram misalnya. Keluar dari hal tersebut perubahan hukum karena hilangnya syarat atau adanya penghalang, misalnya terangkatnya kewajiban zakat karena kurangnya nishob atau kewajiban sholat karena adanya haid, maka hal tersebut tidak dinamakan sebagai naskh.
Dan yang dimaksud dengan perkataan kami : ( لفظه أو ) "atau lafadznya" lafadz suatu dalil syar'i, karena naskh bisa terjadi pada hukumnya saja tanpa lafadznya, atau sebaliknya, atau pada keduanya (hukum dan lafadznya) secara bersamaan sebagaimana yang akan datang.
Keluar dari perkataan kami : (والسنة الكتاب من بدليل) "dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah" : apa yang selain keduanya dari dalil-dalil syar'i, seperti ijma' dan qiyas maka suatu dalil tidak bisa di-naskh dengan keduanya. Para ulama sepakat bahwa nasakh atau pembatalan hukum syarat dalam Al-Qur’an dan Sunnah hanya terjadi pada zaman Rasul masih hidup.
Dari dua definisi tersebut, para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa nasakh itu dapat
dibenarkan jika memenuhi kriteria berikut ini:
a. Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka biasanya, masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
b. Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus);
c. Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh (yang dihapus)
NASKH ITU MUNGKIN TERJADI SECARA AKAL DAN TERJADI SECARA SYAR'I.
Adapun kemungkinannya secara akal ialah karena di tangan Alloh-lah semua perkara, dan milik-Nyalah hukum, karena Dia adalah Ar-Robb Al-Malik, maka Alloh berhak mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya apa-apa yang menjadi konsekuensi hikmah dan rahmat-Nya. Apakah tidak masuk akal jika al-Malik memerintahkan kepada yang dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya? Kemudian konsekuensi hikmah dan rahmat Alloh ta'ala kepada hamba-hamba- Nya adalah Dia mensyariatkan kepada mereka dengan apa-apa yang diketahui-Nya bahwa di dalamnya dapat tegak maslahat-maslahat agama dan dunia mereka. Dan maslahat-maslahat berbeda-beda tergantung kondisi dan waktu, terkadang suatu hukum pada suatu waktu atau kondisi adalah lebih bermaslahat bagi para hamba, dan terkadang hukum yang lain pada waktu dan kondisi yang lain adalah lebih bermaslahat, dan Alloh Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Adapun terjadinya naskh secara syar'i, dalil-dalilnya adalah terdapat pada ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 106 :
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
ayat Al-Qur’an suran An-Nahl ayat 101:
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ۙ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
   Artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
DALIL YANG TIDAK BISA DI-NASKH
Naskh tidak bisa terjadi pada beberapa hal berikut ini :
1. Al-Akhbar (Khobar-khobar), karena naskh tempatnya adalah dalam masalah hukum dan karena me-naskh salah satu di antara dua khobar berarti melazimkan bahwa salah satu di antara kedua khobar tersebut adalah dusta. Dan kedustaan adalah suatu hal yang mustahil bagi khobar dari Alloh dan Rosul-Nya, kecuali apabila hukum tersebut datang dalam bentuk khobar, maka tidak mustahil untuk di-naskh, sebagaimana firman Alloh ta'ala :
"Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh." [QS. Al-Anfal : 65]
Maka sesungguhnya ayat ini adalah khobar yang maknanya adalah perintah, oleh karena itu naskh-nya datang pada ayat yang berikutnya, yaitu firman Alloh ta'ala :
"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir." [QS.
Al-Anfal : 66]
2. Hukum-hukum yang maslahatnya berlaku di setiap waktu dan tempat :
seperti tauhid, pokok-pokok keimanan, pokok-pokok ibadah, akhlaq-akhlaq yang mulia seperti kejujuran dan kesucian, kedermawanan dan keberanian dan yang semisalnya. Maka tidak mungkin me-naskh perintah terhadap hal-hal tersebut, dan begitu pula tidak mungkin me-naskh larangan tentang apa-apa yang tercela di setiap waktu dan tempat, seperti syirik, kekufuran, akhlaq-akhlaq yang buruk seperti dusta, berbuat fujur (dosa), bakhil, penakut dan yang semisalnya, karena syari'at-syari'at semuanya adalah untuk kemaslahatan para hamba dan mencegah mafsadat dari mereka.
Pendapat Para Ulama tentang Nasakh
Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh itu boleh dan terjadi. Pendapat mereka didasarkan kepada firman Allah surat al-Baqarah ayat 106:
Artinya, “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”.
Jumhur Ulama pun beralasan dengan firman Allah surat al-Nahl ayat 101:
Artinya, “Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
“Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan
mereka tiada Mengetahui”.
Menurut Jumhur ulama, Allah berkuasa untuk melakukan apa saja yang sesuai dengan kehendak-Nya, tanpa terkait dengan maksud dan tujuan. Oleh karena itu, wajar apabila Allah mengganti suatu hukum dengan hukum lainnya, yang menurut-Nya lebih baik. Selain itu, menurut Jumhur, sudah banyak sekali kasus yang berkaitan dengan nasakh, seperti nasakh terhadap syari’at sebelum datang Islam, pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, pembatalan puasa Asyura diganti dengan Ramdhan, dan lain-lain. Pendapat Jumhur itu dibantah oleh Abu Muslim al-Ashfahani (mufassir). Menurutnya, apabila nasakh dakui keberadaannya berarti terdapat perbedaan kemashlahatan sesuai dengan penggantian zaman, memungkinkan dibolehkannya seseorang untuk mengganti keimanannya sesuai dengan kondisi zaman. Hal itu sangat mustahil diterima akal. Selain itu, adanya nasakh berarti mena􀏐ikan pengetahuan Allah SWT. Terhadap kemashlahatan suatu zaman, sehingga Dia harus mengganti dengan hukum yang lain. Keadaan seperti ini sangat mustahil bagi Allah dan sia-sia saja. Padahal Allah telah berfirman dalam surat Fushilat ayat 42 sbb.:
Artinya, “Yang tidak alasan kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
Menurutnya, ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam al-Qur’an tidak terdapat “pembatalan”. Jika nasakh diartikan sebagai pembatalan, maka tidak akan terdapat al-Quran. Mufassir dan pembaharu islam, Muhamamd Abduh berpendapat bahwa nasakh telah tepat diartikan sebagai penggantian, pengalihan (pemindahan) ayat hukum ditempat ayat hukum lainnya, yakni penggantian atau pemindahan suatu wadah ke wadah yang lain (Rachmat Syafe’i, 1999: 234-236).
Quraish Shihab menanggapi pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa pengertian tersebut membawa pada kesimpulan bahwa semua ayat al-Quran akan tetap berlaku dan tidak ada yang bertentangan satu sama lain. Hanya saja, terjadi penggantian hukum pada masyarakat tertentu karena adanya kondisi yang berbeda, namun tetap berlaku bagi masyarakat yang kondisinya sama seperti kondisi ketika ayat tersebut diberlakukan (Shihab:147-148).
Mengetahui Nasakh
Nasikh dapat diketahui benar-benar sebagai nasikh, dengan jalan sebagai berikut:
a.       mengetahui adanya penjelasan dan lafal yang menunjukan pembatalan ( nasakh , sebagaimana tersebut dalam al-Quran :
الْآَنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا
“sekarang allah telah meriangkan kepadamu dan dia mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.”
Ayat ini menghapuskan kewajiban setiap muslim melawan 10 orang kafitr. Kewajiban ini di riangkan bahwa tiap-tiap muslim hanya di wajibkan melawan 2 orang kafir
b.      Sabda Nabi


“ Aku telah melarang kamu menyimpan daging kurban karena kedatangan orang yang berhajat (tetapi sekarang ) makanlah,simpanlah,dan sedeqahkanlah.
Hadis ini menghapuskan hukuman larangan menyimpan daging kurban lebih dari 3 hari. Sesudah hadist maka orang boleh dan bebas menyimpan daging kurban lebih dari 3 hari
c.       Adanya pertentangan antara dua dalil yang tidak bisa dikumpulkan. Sebab menurut kaidah usul-fiqh: “selama masih mungkin dikumpulkan antara 2 buah dalil yang bertentangan, maka tidak boleh ada nasakh.
d.      Dari perbuatan nabi SAW. Yang menghapuskan sabda beliau sendiri yang berbunyi

“janda yang berzina dengan duda (dihukum) jilid 100 kali dan dirajam.”
Kemudian nabi saw. Merajam Maiz dan tidak menjilidnya. Perbuatan Nabi terhadap Ma’iz ini berarti menghapus hukum yang terdapat dalam hadis diatas.
4. Syarat-syarat Nasakh
Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa jumhur mengakui keberadaan nasakh dalam
al-Quran, namun harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada
yang disepakati dan ada yang tidak disepakati. Di antara syarat-syarat yang disepakati
antara lain:
a. Yang dibatalkan adalah hukum atau dalil-dalil syara’ maksudnya ialah nasakh itu merupakan penghapusan atau penggantian hukum syara’ oleh syara’ lainnya, maka oleh karena itu yang mansukh ( yang di nasakh )  haruslah dalil syara’ itu sendiri yang memang berasal dari al-Quran dan Al-hadits.
b. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’, tentunya naasikh ( yang membatalkan ) pun haruslah menggunakan dalil syar’i sesuai dengan makna dari nasakh itu sendiri.
c. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d. Tuntutan yang mengandung nasakh atau naasikh ( yang menasakh ) harus datang kemudian.
e. Naasikh ( yang menasakh ), harus lebih kuat daripada mansukhnya atau sekurang-kurangnya sama, jangan kurang dari itu karena yang lemah tidak akan dapat menghapuskan yang kuat. Karena itu hadits yang mutawatir dapat menasakh hadits ahad, tetapi sebaliknya hadits ahad tidak dapat menasakh hadits mutawatir.
f. Tidak mungkinnya dilakukan jama' (penggabungan makna) antara kedua dalil, apabila memungkinkan untuk di-jama' maka tidak boleh di-naskh karena memungkinkannya untuk beramal dengan kedua dalil tersebut.
Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:
a. Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagai Hanafiyah yang menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara’ telah memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum teresbut yang menunjukkan bahwa hukum itu baik. Atau setidak tidaknya menunjukkan bahwa hukum tersebut bernilai bila diaktifkan dengan kondisi tertentu. Jika nilai kebaikannya sudah tidak ada, barulah diganti dnegan hukum yang lebih baik. Sebaliknya, apabila belum sempat dilaksanakan, berarti hukum tersebut buruk, dan hal itu mustahil bahwa Syari’berbuat sesuatu yang sia-sia. Jumhur membantah pendapat tersebut dengan alasan:
1) kebaikan suatu hukum itu tidak hanya dinilai dari akibat perbuatan tersebut. Namun ada yang lebih penting dari itu, yaitu kepatuhan kepada Allah untuk melakukan syari’at yang dibebankan syara’ kepada seseorang hamba. Oleh karena itu, tidak perlu hukum yang dinasakh itu harus pernah dilakukan oleh mukallaf, karena boleh jadi kalau hukum tersebut tetap dilakukan akan berdampak lain bagi kelompok tertentu. Tapi sikap seorang mukallaf cukup dengan keyakinan untuk patuh melaksanakan perintah-Nya;
2) Secara fakktual, telah banyak sekali hukum yang dinasakh sebelum dilaksankaan, seperti perintah shalat pada waktu Isra’ Mi’raj Nabi yang mula-mula diperintahkan 50 kali, tetapi belum sempat perintah tersebut dilaksankan sudah dinasakh dengan 5 kali saja.
b. Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum yang dinasakh itu harus ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan oleh akal.
c. Sebagian ulama ushul 􀏐iqh mensyaratkan adanya pengganti terhadap hukum yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan 􀏐irmna Allah dalam surat al-Baqarah ayat 106. Jumhur membantah, bahwa Allah tidak wajib menggantinya, dan cukup banyak hukum yang dibatalkan, namun tidak ada penggantinya, seperti hukum memberi sedekah bagi mereka yang ingin melakukan pembicaraan dengan Rasul, seperti yang terdapat dalam surat al Mujadalah ayat 12, yang dinasakh dengan firman Allah pada surat al-Mujadalah ayat 13, sedangkan penggantinya tidak ada.
d. Sebagian ahli Ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila akan  menasakh terhadap nash al-Qur’an atau hadits yang mutawatir, maka nasikh harus yang sederajat, tidak boleh dengan yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh hadits mutawatir dengan hadits ahad. Alasan mereka antara lain sebuah hadits diriwayatkan dari Umar Ibnu al-Khaththab:
Artinya, “Kami tidak akan meninggalkan hukum Tuhan kami dan hukum Rasul kami
hanya karena ucapan seseorang wanita yang akan kami sendiri tidak tahu apakah ia
benar atau tidak”.
Jumhur dan Abu Daud al-Zhahiri tidak menerima syarat tersebut dengan alasan bahwa hadits ahad yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yakni:
Artinya, “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ahad tersebut telah menasakh firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 180.
e. Menurut Imam Syafe’i, al-Quran tidak bisa dinasakh, kecuali dengan al-Quran, dan hadits mutawatir juga tidak dinasakh, kecuali harus dengan hadits yang mutawatir pula. Hal itu dibantah oleh jumhur bahwa al-Quran dapat dinasakh dengan hadits mutawatir dan hadits Mutawatir pun dapat dinasakh dengan al-Quran.
f. Sebagian ulama ushul berpendapat bahwa teks ayat tidak boleh dihapus jika hukumnya tetap berlaku, karena hukum itu melekat pada teksnya. Akan tetapi, menurut jumhur hal itu boleh saja, baik teksnya telah dihapus dan hukumnya ada atau sebaliknya teksnya ada, tetapi hukumnya tidak berlaku. Jumhur memberikan contoh tentang rajam bagi laki-laki mukhshan dan bagi wanita tua mukhshanah, padahal tidak didapatkan teksnya dalam al-Quran.
g. Menurut Jumhur, qiyas tidak bisa menjawab nasikh maupun mansukh. Sebaliknya, Tajudin, ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa qiyas dapat menasakh al-Quran, karena qiyas itu berasal dari nash. Namun dia tidak memberikan contohnya.
h. Menurut Jumhur, ijma’ tidak boleh menjadi nasikh ataupun mansukh, dengan alasan bahwa ijma’ itu baru bisa dianggap sah apabila tidak bertentangan dnegan nasakh. Sedangkan bila ijma’ dimansukh berarti membatalkan landasan ijma’ itu sendiri. Namun, menurut al Badzawi, salah seorang ahli Ushul Hana􀏐iyah, ijma’ itu boleh dinasakh dengan ijma’ lainnya yang datang kemudian.
i. Sebagian ulama Ushul yang tidak dikenal identitasnya menyatakan bahwa hukum yang diambil berdasarkan ma􀏐hum suatu nash, maka nashnya juga mansukh, karena mafhum itu terkait dengan nash. Jumhur mengemukakan rincian yang jelas tentang masalah ini, yaitu:
1) Dibolehkan menasakh mafhum al-muwafaqah atau mafhum al-mukhalafah sekaligus dengan nashnya;
2) Dibolehkan menasakh mafhum mukhalafah dan nashnya tetap;
3) Tidak diterima menasakh nash, teapi mafhum mukhalafahnya tidak. Begitu pula tidak dibolehkan menasakh nash dan menetapkan mafhum al-mukhalafah.
Rukun nasakh
Rukun nasakh itu ada empat, yaitu:
a. Adat al-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada;
b. Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah Ta’ala, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pula yang menghapuskannya;
c. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan;
d. Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebani hukum (Rachmat Syafe’i, 1999: 232)
Macam-macam Nasakh
Para ulama yang mengakui keberadaan nasakh, membagi nasakh menjadi beberapa macam dari segi keberadaannya , yaitu:
a. Nasakh yang tidak ada gantinya, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.
b. Nasakh yang ada penggantinya namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat, seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali, diganti dengan lima kali saja.
c. Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti hukum rajam bagi laki-laki dan perempuan tua yang telah menikah.
d. Nasakh hukum dari suatu ayat, namun teksnya masih ada, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.
e. Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan sepuluh kali. Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
f. Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulama Hanafiyah, hukum penambahan tersebut bersifat nasakh. Jumhur ulama lebih memerinci hukum tambahan ini:
1) Apabila hukum tambahan tidak terkait dengan hukum yang ditambah, tidak dinamakan nasakh, karena keduanya terpisah, seperti penambahan kewajiban shalat pada ayat yang menerangkan kewajiban zakat, maka perintah shalat tidak berpengaruh kepada zakat.
2) Apabila hukum yag dinasakh berkaitan dengan hukum yang ditambah, maka tambahan itu dinamakan nasakh. Seperti penambahan rakaat pada shalat subuh yang dua rakaat, berarti mengubah esensi dari shalat itu sendiri.
3) Apabila penambahan itu mempengaruhi bilangan, tetapi tidak mempengaruhi esensi hukum semula. Misalnya hukuman dera bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina, yaitu 80 kali dera, ditambah 20 pukulan. Terhadap hukuman tersebut terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul. Menurut Jumhur tidak dinamakan nasakh, karena esensinya masih tetap. Akan tetapi, menurut Hanafiyah, termasuk nasakh, karena hukum asalnya telah berubah.
Khalid Ramadhan hasan dalam kitabnya Mu’kjam fi Ushul Fiqih ,membagi nasakh menjadi 4 macam jika dilihat dari segi nasikh atau yang menghapus :
1.           Al-Qur’an di nasakh oleh Al-Qur’an : contohnya ayat yang berbicara tentang seruan membakar semangat duapuluh orang mukmin yang sabar akan mengalahkan musuh sebanyak dua ratus orang terdapat dalam surat Al-Anfal ayat  65 :

 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (65)

Artinya : Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti[623].

Kemudian ayat diaatas di nasakh atau dihapus dengan ayat lain yang menegaskan bahwa membakar semangat 100 orang yang sabar akan mengalahkan musuh sebanyak 200 orang terdapat dalam surat Al-Anfal ayat 66 :
الْآَنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66
Artinya :  Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.

2.      Al-Qur’an di nasakh oleh As-Sunnah
Contohnya ayat tentang wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat telah dihapus hukum- hukumnya oleh hadis Nabi :”Ketahuilah bahwa tidaka ada wasiat bagi ahli waris. Contoh lain ayat tentang “hukum cambuk(jilid) bagi laki- laki dan perempuan yang berzina dengan 100 kali cambuk di nasakh oleh hadis tentang rajam “rajam bagi pelaku yang berzina.”
3.      As-Sunnah di nasakh oleh Al-Qur’an
Contoh hadis nabi yang menyatakan “Menghadap ke baitul maqdish ketika shalat selama 16-17 bulan.”(H.R.Bukhari). lalu ketentuan itu dihapus oleh Al-Qur’an sutar Al- Baqarah ayat 144 yang menyerukan shalat menghadap ke Baitullah atau Mekah.

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ وَ إِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ وَ مَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
Artinya :sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

4. As-Sunnah di nasakh oleh As-sunnah
Seperti larangan berziarah kubur pada waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul dengan hadisnya yang lain membolehkan ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah kubur (H.R.Muslim)
 الافزوروها القبور  زيارة  عن  نهيتكم كنت
Artinya : “dulu aku(nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarah kuburlah kamu.”(H.R. Muslim)
.     Kaidah- Kaidah yang Berkaitan dengan Nasakh

1.      Dalil qath’i tidak dapat dihapus oleh dalil zhanni.
Dalil qath’i hanya terdapat dalam Al-Qur’an, hadis, serta sebagian ijma’. Sedangkan dalil zhanni seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, urf, dan syar’u manqablana.
2.      Yang menghapus diperbolehkan asalkan lebih ringan, atau sepadan dengan yang dihapus. Contoh, iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya masa iddah nya adalah setahun.
وَالَّذِ ينَ يُتَوفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَ رُونَ أَزْوَجًا وَصِيَّةً لِّأَزْوَجِهِمْ مَّتَعًا إِلىَ الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِ نَّ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِى أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَّعْرُ وفٍ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.



Kemudian dhapus dengan iddah selama empat bulan sepuluh hari(QS. Al-Baqarah ayat 234)
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

3.      Yang menghapus boleh lebih berat dari yang dihapus. Hal ini didasari oleh Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 106, tetapi sebagian ulama ada yang tidak membolehkan. Contoh. Pengahpusan puasa Asy-Syura dengan puasa ramadhan

4.      Ijma’ dan qiyas tidak dapat dijadikan sebagai penghapus(nasikh)
Hukum Islam dapat menasakh hukum yang berlaku pada umat sebelum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa nasakh memang dibutuhkan dikarenakan adanya perubahan zaman dan tempat. Sehingga perlu hukum yang sejalan dengan zaman dan tempat. Hukum umat terdahulu yang telah dinasakh oleh Islam, seperti orang Yahudi dibolehkan menikah dengan perempuan tanpa batas, maka Islam menghapus hukum tersebut dan diganti dengan kebolehan menikah dengan perempuan maksimal empat. Diharamkan bagi orang- orang Yahudi sebagian makanan seperti, binatang yang berkuku, sapi, domba, dan lemak kedua binatang tersebut.

Hikmah Nasakh
Naskh mempunyai banyak hikmah diantaranya :
1. Memelihara maslahat-maslahat para hamba dengan disyariatkannya apa yang lebih bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia mereka.
2. Berkembangnya syari'at sedikit demi sedikit hingga mencapai kesempurnaan.
3. Ujian bagi para mukallaf terhadap kesiapan mereka untuk menerima perubahan suatu hukum kepada yang lain, dan keridho'an mereka terhadap hal tersebut.
4. Ujian bagi para mukallaf untuk menegakkan tugas bersyukur jika naskh itu kepada hukum yang lebih ringan, dan tugas untuk bersabar jika naskh itu kepada hukum yang lebih berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar